Sahabat pena mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah

“TIDAK” PENTINGNYA PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL

“TIDAK” PENTINGNYA PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL


Pendidikan dan Keaksaraan Fungsional
Manusia diciptakan oleh Tuhan YME adalah untuk meneruskan dan menggantikan generasi sebelumnya dan berkehidupan dengan akal,nalar serta fikiranya demi menuju kesehjateraan hidup yang hakiki. Kesehjateraan hidup seorang manusia dapat dicapai melalui berbagai cara yang ada didalam suatu sistem kehidupan sehari-hari salah satunya adalah pendidikan. Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pedidikan sangat memiliki kaitan erat dengan proses pembangunan yang ada disetiap Negara khususnya diindonesia sendiri, karena didalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 telah ditulis secara jelas bahwasanya pendidikan diindonesia memiliki tujuan untuk mengembangkan dan menguatkan potensi peserta didik yang berguna dalam kehidupan sehari-harinya dalam berbangsa dan bernegara. Terdapat 3 jalur pendidikan diIndonesia yang pertama yaitu pendidikan formal, pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang berjenjang dan terstruktur terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, yang kedua yaitu pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan yang dilaksanakan diluar jalur formal dan dapat dilaksanakan secara berjenjang dan terstruktur, dan yang ketiga adalah pendidikan informal merupakan jalur pendidikan yang pelaksanaanya pada dasarnya terbentuk dari lingkungan  sekitar dan keluarga.
Di dalam pembahasan kali ini kita akan membicarakan pada ranah pendidikan nonforrmal karena mengacu pada  sub-sub pembahasan selanjutnya. Dalam pendidikan nonformal memiliki satuan diantaranya adalah lembaga kursus dan lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majlis taklim dan pendidikan anak usia dini. Serta dalam  penyelenggaraanya pendidikan non formal memiliki banyak program yang sangat menunjang dan berperan sebagai pelengkap dan penambah dari pendidikan formal sebagaimana harusnya, salah satunya adalah pendidikan keaksaraan.
Pendidikan keaksaraan yang sering kita sebut sebagai program keaksaraan fungsional (KF) merupakan program satuan Pendidikan Luar Sekolah yang tersistem dan suatu gerakan dalam upaya pemberantasan buta huruf dimana masyarakat nantinya akan bisa membaca, menulis dan berhitung (CALISTUNG). Program KF juga sebagai salah satu wadah dimana masyarakat yang menyandang buta aksara untuk mampu memfasilitasi dirinya sendiri serta berupaya untuk mengakui secara terbuka bahwa dirinya buta huruf dan berkeinginan kuat untuk belajar membaca, menulis dan berhitung.
Tujuan Program Keaksaraan Fungsional
Suatu program dilaksanakan manakala program tersebut memiliki tujuan, karena tujuan dari program tersebut adalah sebagai tolok ukur keberhasilan suatu program. Berikut adalah tujuan diadakanya program keaksaraan fungsional.
1.   Sebagai upaya pemberantasan buta aksara pada masyarakat penyandang buta aksara
2.   Meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui dengan memanfaatkan keterampilan menulis dan berhitung
3.   Menigkatkan kecakapan linguistik masyarakat dalam berkomunikasi sehari-hari dari beberapa tujuan yang telah dipaparkan diatas menunjukan bahwasanya adanya tujuan program KF adalah indikator suatu program dalam mencapai keberhasilanya. Program KF berupaya untuk melakukan gerakan yang berjalan pada koridor pendidikan bagi masyarakat luas khususnya dalam pemberantasan buta aksara.
Program KF juga memberikan fasilitas bagi masyarakat buta aksara untuk dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya yang hanya saja terkendala pada problema ia tidak bisa membaca sehingga hal tersebut mempengaruhi tingkat motivasi masyarakat penyandang buta aksara dalam memenuhi hasrat serta gairah mereka belajar khususnya belajar membaca, menulis dan berhitung. Apabila pemenuhan hasrat dan gairah belajar masyarakat penyandang buta aksara mampu untuk terpenuhi atas kehendak dirinya sendiri dan tentunya berguna dalam kehidupanya sehari-hari khususnya dalam pemenuhi kebutuhan hidup mereka yang didasari perekonomian mereka mengalami perubahan menuju arah kemajuan maka benarlah program KF ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui dengan memanfaatkan keterampilan menulis dan berhitung.
Poerwardarminta dalam (Jalaludin dan Abdullah Idi, 2013 : 196), Manusia disebut sebagai homo sacinss atau homo saciale abima, karena manusia adalah makhluk yang bermasyarakat . Artinya bahwa manusia adalah makhluk yang mengalami interaksi dengan sesamanya dan terjalin komunikasi dalam kehidupan sehari-hari maka dari perspektif tersebut program keaksaraan fungsional menjadi dominasi untuk kelancaran berbahasa dalam berinteraksi bagi masyarakat penyandang buta aksara yang menjadikanya “cacat berkomunikasi”, seperti yang tertera pada tujuan yang ketiga bahwa program keaksaraan fungsional  meningkatkan kecakapan linguistik dalam berkomunikasi sehari-hari.
Terlepas dari itu semua dapat digeneralkan bahwa tujuan dari diadakanya program keaksaraan fungsional adalah masyarakat dapat melampaui dari tingkat-tingkat yang ada pada keaksaraan fungsional yaitu tingkat keaksaraan dasar, tingkat keaksasraan lanjutan dan tingkat keaksaraan mandiri Hatimah, dkk.(2007: 5.4) sehingga program keaksaraan fungsioal benar-benar diakui menjadi program yang tepat untuk fungsionalisasi hasil belajar dari warga belajar (perserta didik). Warga belajar yang dimaksud adalah warga belajar yang dapat memfungsikan keaksaraanya untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka untuk meningkatkan mutu dan taraf hidupnya.
Tinjauan Empirik Pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional
Pendidikan nonformal sangatlah booming dengan istilah “memanusiakan manusia”, akan tetapi seakan hal tersebut kini hanyalah sebuah ungkapan untuk citra sebuah organisasi atau lembaga yang turun lapangan dalam melaksanakan program KF dan bukan lagi sebagai landasan atau ideologi bagi pelaksanaan program KF disuatu lembaga penyelenggara. Hal tersebut mempengaruhi bahwa yang seharusnya pelaksanaan  program KF berorientasi pada paradigma andragogi semakin meleset dan keluar dari tujuan yang ada. Kemendikbud (2015) menyatakan:
“Angka buta aksara di Indonesia masih tergolong tinggi. Yaitu mencapai 5.984.075 orang yang tersebar di enam provinsi. Enam provinsi ini meliputi Jawa Timur 1.258.184 orang, Jawa Tengah 943.683 orang, Jawa Barat 604.683 orang, Papua 584.441 orang, Sulawesi Selatan 375.221 orang, Nusa Tenggara Barat 315.258 orang”.

Mengapa dikatakan meleset? fakta dan data lapangan diatas menunjukan bahwa tujuan utama dari dilaksanakanya program  KF adalah Sebagai upaya pemberantasan buta aksara pada masyarakat penyandang buta aksara menjadi sulit untuk tercapai. Belum lagi ditambah dengan kemajuan teknologi yang pesat sehingga membuat masyarakat yang buta aksara semakin lebih buta dalam menyadari bahwa mereka memiliki kebutuhan untuk terus belajar khususnya dalam hal membaca, menulis dan berhitung. Contohnya saja dengan tingginya tingkat konsumtif masyarakat Indonesia dalam menjadi kosumen teknologi khususnya alat komunikasi, kini dengan handphone atau smartphone  orang yang tidak bisa membacapun “terpaksa” untuk bisa membaca.
Tidak hanya sebatas itu fakta yang terjadi dilapagan, orientasi memanusiakan manusia yang harusnya menjadi pijakan dalam pelaksanaan program KF berganti menjadi proyek yang memiliki kepentingan lain. Sebenarnya walaupun program apapun pasti bebrbasis proyek akan tetapi apabila dalam pelaksanaanya sering kali mengalami kesalahan koordinasi (miscommunicated) antara administrasi dan organisasi maka akan mengurangi tingkat efektifitas dan efesiensi dalam pelaksanaan suatu program. Saleh (2012) menyatakan bahwa pendidikan non formal dalam KF, andragogi dan pelatihan : seringkali KF yang dilaksanakan berdasarkan proyek pembangunan selalu tidak efektif dan efisien karena kurangnya koordinasi.
Selain efektifitas dan efesiensi pelaksanaan program keaksaraan fungsional yang singgung disini yaitu permasalahan keprofesionalan seorang tutor atau pendidik dalam memberikan bimbingan pada penyandang buta aksara. Keprofesionalan seorang tutor sangat mempengaruhi akan keadaan psikologis warga belajar dan juga motivasi warga belajar. Seorang tutor hendaknya dikatakan profesinal apabila ia memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada peserta didiknya pada waktu mereka menghadapi kesulitan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan peserta didik dan tujuan yang akan dicapai (jalaludin dan Idi, 2013: 148).
Permasalah yang global sering dijumpai di Indonesia adalah permasalahan ekonomi masyarakat yang terpuruk dan berujung pada berbagai kemiskinan yang dialami oleh masyarakat. Kaitanya dalam program KF adalah pada output yang dihasilkan dari pelaksanaan KF lagi-lagi dituding mengalami hambatan untuk mencapai tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui dengan memanfaatkan keterampilan menulis dan berhitung. Terbukti dengan adanya pernyataan dalam sebuah jurnal pendidikan bahwasanya kemiskinan Absolut masyarakat indonesia sebagian besar dikarenakan kurangnya kemampuan dasar untuk membaca menulis dan berhitung
Suatu Negara tentunya memiliki berbagai permasalahan yang tidak hanya global saja namun juga komplek. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki penduduk yang mengalami perkembangan pesat jika ditinjau dari angka kelahiran setiap kepala. Sehingga hal ini menimbulkan apresepsi masyarakat terhadap pemerintah untuk pemerataan pendidikan dan program-program yang menunjang mutu pendidikan selain KF, pemerintah dituding dalam pengentasan buta huruf terfokus pada kota-kota yang menurutnya dapat dijangkau. Sulistyoningrum (2015) meyatakan:
“Setelah diterapkannya Gerakan Indonesia Membaca di Karawang Jawa Barat berhasil membebaskan 117 ribu warganya dari tuna aksara. Di Kabupaten Jember Jawa Timur berdasarkan data tahun 2014 dari 180 ribu warga buta aksara, saat ini hanya tersisa 45 ribu. Sedangkan di Papua, angka penyandang buta aksara memang terhitung masih tinggi yakni 36,63% pada tahun 2013”.
Program Keaksaraan Fungsional Penting Atau Tidak?
Setelah membaca pemaparan diatas hal tersebut dapat kita jadikan refleksi bersama, dan patut untuk kita sadari. Sejatinya manusia merupakan homo intelectus, manusia memiliki potensi untuk berkembang dan memiliki daya intelektualnya sendiri (jalaludin dan Abdullah Idi, 2013 : 196). Walaupun demikian apabila suatu potensi jika tidak memiliki wadah yang cukup dan tidak dipelihara maka akan sulit untuk bermanfaat bagi sesama maupun lingkungan sekitar. Begitupula dengan pelaksanaan program KF adalah sebagai wadah untuk masyarakat yang menyandang buta aksara dan masyarakat yang masih memiliki cita-cita menjadi manusia yang pandai berkomunikasi. Namun ada beberapa hal yang menjadikan program keaksaraan fungsional ini dipandang penting ataupun tidak diantaranya adalah keharusan “pengelola” program keaksaraan fungsional dalam melakukan evaluasi yang berkelanjutan, agar menimbulkan suatu pandangan bahwasanya keaksaraan fungsional adalah benar-benar menjadi wadah penyadaran yang didasari rasa partisipatif pada masyarakat.
Selain itu perlu adanya peningkatan kualitas tutor yang sangat spesifik, karena tutor adalah seorang yang juga turut menentukan arah pengelolaan program KF yang menjamin mutu bimbingan dan peserta didiknya untuk menjadi manusia yang berkualitas dalam kegiatan membaca,menulis dan berhitung. Penigkatan kualitas tutor dapat melalui berbagai sub-sub kegiatan yang masuk dalam cakupan pendidikan salah satunya adalah pelatihan. Pemberian insentif kepada peserta didik juga sebagai bentuk apresisasi yang diberikan sehingga menjadikan peserta didik memiliki motivasi tinggi untuk mengikuti program KF, namun sayangnya hal ini sangat kurang diperhatikan oleh pihak pengelola karena orientasi yang mem”berdayakan” peserta didik itu tadi melalui kegiatan keaksaraan fungsional yang berbasis proyek.
DAFTAR RUJUKAN
Hatimah, Ihat, dkk. 2007. Pembelajaran Berwawasan Kemasyarakatan. Jakarta: Universitas Terbuka, Departemen Pendidikan Nasional
Jalalludin & Abdullah Idi .2013. Filsafat pendidikan Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015. Publikasi data kemendikbud. (Online), (http//publikasi.data.kemendikbud.go.id), diakses 25 september 2016. PT.RajaGrafindo Persada
Marzuki Saleh.2012.  Pendidikan NonFormal  “Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional,
Pelatihan dan Andragogi”(M.G Waseso, Ed). Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sulistyoningrum, Y. Kemendikbud 2015. (Online), (http//:kabar24.com), diakses 25 september 2016.
UU Sisdiknas No. 20 TAHUN 2003 tentang penyelenggaraan KF
UUD 1945 Pasal 31 ayat 1

BIODATA PENULIS



Windy Kiswha Cahlendra adalah nama penulis, terlahir dari pasangan Insan yang bernama Tjahya Poernama dan Sulin. Dilahirkan di Kota Batu pada tanggal 13 Maret 1996. Namun sejak kecil memiliki nama panggilan Wendy dan memiliki hobi membaca dan memulai belajar untuk menulis dari apa yang ia “baca”, untuk memenuhi kebutuhan sebagai seorang pemuda saat ini wendy akif diberbagai organisasi antranya adalah Pramuka Saka Bhayangara, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan 2016, dan Institut Karate-Do Indonesia. Tentunya juga tercatat aktif sebagai mahasiswa Universitas Negeri Malang jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan

 
Share:

No comments:

Postingan Populer

Labels

Blog Archive

Halaman Diunggulkan

LULUSAN PLS PENGANGGURAN? MITOS ATAU FAKTA

LULUSAN PLS PENGANGGURAN? MITOS ATAU FAKTA Tingginya tingkat pengangguran yang dialami oleh para lulusan perguruan tinggi me...