PROBLEMATIKAN PENDIDIKAN ABAD-21
Kondisi perekonomian
Indonesia yang fluktuatif dan krisis yang terus membelenggu Indonesia,dan belum tampak adanya tanda-tanda bahwa bangsa kita akan terbebas dari krisis multi dimensional, membuat kondisi kehidupan masyarakat semakin menderita. Segala
jenis kebutuhan sudah tak terjangkau lagi oleh masyarakat miskin.
Masalah pendidikan juga merupakan masalah bangsa yang belum dapat ditemukan solusinya. Padahal pendidikan sebagai salah satu elemen yang
sangat penting dalam mencetak generasi penerus bangsa. Namun yang paling jelas
adalah masalah mahalnya biaya pendidikan sehingga tidak terjangkau bagi
masyarakat di kalangan bawah. Seharusnya pendikan menjadi hak seluruh rakyat Indonesia seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa salah satu
tujuan negara adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Undang-Undang nomor 20
tahun 2003 tentang Sisdiknas pada BAB II pasal 3 juga menyatakan bahwa
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, kritis, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertangung jawab.
Jika diperhatikan pada
fungsi dan tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa potensi peserta didik
benar-benar dikembangkan agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat,
kritis, kreatif, mandiri dan bertangung jawab.
Ini mempunyai konsekuensi
logis bahwa negara
harus menyelenggarakan dan memfasilitasi seluruh rakyat Indonesia untuk
memperoleh pengajaran dan pendidikan yang layak. Tentu saja pemerintah harus
mengusahakan agar pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan merupakan faktor yang
paling utama dalam kehidupan. Melalui pendidikan,
setiap orang dapat mengembangkan potensi yang ada pada dirinya untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya (Astuti, 2015). Biaya pendidikan saat ini sering kali menjadi sebuah problema bagi orangtua. Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya di
perguruan tinggi melainkan juga biaya pendidikan di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas walaupun sekarang ini sekolah sudah
mendapat Bantuan Operasional Sekolah
(BOS), namun semuanya itu masih
belum mampu menyelesaikan
masalah yang ada.
Pendidikan
di Indonesia masih merupakan investasi yang mahal sehingga diperlukan
perencanaan keuangan serta perlu kesiapan dana pendidikan sejak dini. Setiap
keluarga harus memiliki perencanaan keuangan karena dengan
adanya perencanaan keuangan sejak awal, maka pendidikan yang diberikan pada anak
akan terus berlanjut sehingga anak tidak akan putus sekolah.
Tanggung jawab orangtua sangatlah berat karena harus membiayai anak sejak dia
lahir sampai ke jenjang yang lebih tinggi.
Mahalnya
biaya pendidikan karena banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan
sehingga tidak memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang dialami masyarakat
menimbulkan kemiskinan (Suryono & Wesa, 2014). Dampaknya yaitu membuat anak putus sekolah, anak tersebut
hanya mendapat pendidikan sampai pada jenjang sekolah dasar.
Padahal pemerintah ingin menuntaskan wajib belajar 12 tahun.
Jika masalah ini tidak mendapat perhatian, maka program tersebut
tidak akan terealisasi. Banyak anak yang
putus sekolah karena orangtua
tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya. Permasalahan kemiskinan memang menjadi momok bagi negara
Indonesia, masyarakat ekonomi Asean (MEA) sendiri salah satu tujuannya adalah
adanya pengurangan angka kemiskinan dari negara-negara di ASEAN (Nugroho, 2016).
Kualitas
pendidikan di Indonesia juga sangat
memprihatinkan. Hal ini
dibuktikan dengan data UNESCO tentang peringkat Indeks Pengembangan
Manusia (Human Development Index),
yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia
makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102
(1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Apa
makna data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Jelas
ada masalah dalam sistem pendidikan Indonesia. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut memberi andil besar pada HDI
tersebut walau pendidikan hanya satu dari lima faktor yang menentukan peringkat
HDI (Dananjaya, 2005). Ditinjau
secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai
masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua)
masalah yaitu: 1) masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma
pendidikan yang mendasari keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. 2) masalah
teknis penyelenggaraan,
yaitu berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek
praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan.
Mahalnya pendidikan masih menjadi perbincangan dan
permasalahan masyarakat setiap kali
pergantian tahun ajaran, bukan hanya terjadi pada sekolah swasta tetapi juga
sekolah yang berstatus negeri. Orangtua siswa harus berpikir kembali untuk melanjutkan anaknya pada jenjang
yang lebih tinggi akibat semakin tingginya biaya pendidikan.
Padahal
pendidikan adalah suatu bentuk hak asasi yang harus dipenuhi dari lembaga atau
institusi yang berkewajiban memenuhinya secara merata, sehingga semua
masyarakat dalam suatu bangsa tersebut dapat menikmatinya. Mengingat pentingnya
pendidikan untuk semua masyarakat, sehingga posisinya sebagai salah satu
bidang yang mendapat perhatian serius dalam
oleh negara.
Oleh karena itu, pemerintah wajib menyelenggarakan
pendidikan yang dapat dijangkau oleh semua kalangan dan
bahkan gratis untuk masyarakatnya.
Mahalnya biaya pendidikan akan membawa dampak yang cukup besar
dalam perkembangan pembangunan manusia Indonesia. Pertama, sumber dayan manusia kita akan semakin endah dan kalah
bersaing. Salah satu sektor strategis
dalam usaha pengembangan sumber daya
manusia (SDM) di Indonesia adalah sektor pendidikan. Pendidikan memberikan peran yang sangat besar dalam
menentukan kualitas dan standard SDM di Indonesia untuk membangun Indonesia
yang lebih baik. Permasalahan yang ikut membawa dampak sangat besar pada pelajar
adalah permasalahan mengenai mahalnya biaya pendidikan di Indonesia.
Permasalahan ini dinilai sebagai permasalahan klasik yang terus muncul
kepermukaan dan belum selesai hingga sekarang. Padahal, tingginya biaya
pendidikan saat ini tidak sesuai dengan mutu atau kualitas serta output pendidikan
itu sendiri. Kenyataan tersebut dapat dilihat dari masih tingginya persentase pengangguran terdidik (sarjana).
Kedua, lemahnya taraf ekonomi masyarakat. Pendidikan memiliki daya dukung yang representatif atas pertumbuhan
ekonomi. Pada dasarnya pendidikan dapat meningkatkan produktivitas
kerja seseorang, yang kemudian akan meningkatakan pendapatannya. Peningkatan
pendapatan ini berpengaruh pula kepada pendapatan nasional negara yang
bersangkutan, untuk kemudian akan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat berpendapatan rendah. Pendidikan memiliki suatu kemampuan untuk
menyiapkan peserta didik menjadi tenaga kerja potensial, dan menjadi
lebih siap dalam pekerjaannya yang akan memacu tingkat produktivitas tenaga
kerja, sehingga yang secara tidak langsung
akan meningktakan pendapatan nasional. Permasalahan yang sering muncul ke permukaan adalah jarang adanya
integrasi yang kuat antara pekerjaan dan pendidikan yang dibutuhkan yang
mengakibatkan munculnya pengangguran terdidik dan terlatih. Oleh karena itu,
pendidikan perlu mengantisipasi kebutuhan tersebut.
Ia harus mampu memprediksi dan mengantisipasi kualifikasi pengetahuan dan
ketrampilan tenaga kerja. Prediksi ketenagakerjaan sebagai dasar dalam
perencanaan pendidikan harus mengikuti pertumbuhan ekonomi yang berkaitan
dengan kebijaksanaan sosial ekonomi dari pemerintah.
Upaya Apa yang Harus Dilakukan?
Besar kecilnya subsidi
pemerintah itulah yang membuat mahal atau murahnya biaya pendidikan yang harus
dibayarkan oleh orangtua atau masyarakat. Kalau kita ingin biaya pendidikan
tidak mahal maka subsidi pemerintah harus besar. Usaha untuk menjadikan
pendidikan tidak mahal untuk dikonsumsi orangtua dan masyarakat sebenarnya
sudah dilaksanakan pemerintah indonesia, baik dengan meningkatkan subsidi
maupun membangkitkan partisipasi masyarakat. Dalam pasal 49 ayat (1) UU
Sisdiknas disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD. Seandainya
saja ketentuan UU tersebut direaalisasi maka sebagian permasalahan tentang mahalnya biaya pendidikan di negara
kita tentu akan teratasi.
Usaha lainnya yang dapat
dilakukan pemerintah
ialah membangkitkan peran serta masyarakat melalui dewan pendidikan di tingkat
kabupaten/kota dan komite sekolah/madrasah di tingkat sekolah. Sebagaimana
tertera dalam pasal 56 ayat (2) dan (3) dijamin eksistensi dan perlunya dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah untuk membantu sekolah, termasuk
mengatasi mahalnya pendidikan bagi rakyat banyak.
Tingginya Angka
Putus Sekolah
Membahas permasalahan pendidikan di Indonesia seolah
tidak akan pernah ada usainya. Karena setelah satu masalah ditangani, kemudian
muncul masalah yang lain. Masalah-masalah klasik yang sering muncul tersebut
disebabkan oleh banyak faktor antara lain: 1) Faktor ekonomi.
Ketidakmampuan
keluargadalam memberikan pembiayaan pendidikan kepada anaknya yang disebabkan oleh kondisi ekonomi
yang miskin dan sulit menjadikan mereka memiliki penghasilan yang kecil
akibatnya uang hasil dari pekerjaannya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
makan minum saja, bukan untuk membiayai anaknya sekolah. 2) Faktor kurangnya minat. Kurangnya minat
pada anak juga menjadi masalah yang serius, karena ketika pemerintah dan
sekolah sudah melakukkan upaya untuk menekan angka putus sekolah tetapi dari
peserta didik atau siswa itu sendiri tidak memiliki ketertarikan untuk
bersekolah, maka usaha pemerintah dalam memfasilitasi menjadi sia-sia. Jika
fasilitas ada tetapi peserta didik tidak mau bersekolah maka kegiatan
pembelajaran tidak dapat dilaksanakan. 3) Faktor kurangnya perhatian orangtua. Kondisi ekonomi
yang miskin dan sulit menjadikan rendahnya pola pikir orangtua dan hanya
berorientasi pada bagaimana caranya mendapatkan uang untuk makan. 4) Faktor kurangnya sarana
prasarana. Ketidaktersedian sarana prasara pendidikan yang berupa gedung sekolah,
kamar kecil, jembatan penghubung sekolah dan rumah, lapangan, maupun perpustakaan menjadikan minat bersekolah seorang
anak menurun. 5) Faktor fasilitas belajar yang
kurang memadai. Fasilitas
belajar yang terdapat dalam sekolah kurang memadai, misalnya buku-buku dan literatur belajar siswa sudah
usang
dan tidak diperbaharui, media dan bahan ajar membosankan dan monoton.
Menggagas Sekolah Alternatif
Saat ini sekolah alternatif mulai banyak dikenal dan mulai disorot oleh
masyarakat seiring dengan perkembangan zaman. Selain itu, Sekolah alternatif ini merupakan sekolah bagi
anak-anak yang secara perilakunya cukup aktif, susah dikoordinasi, terlalu
kreatif, tidak begitu suka dengan rutinitas, maupun orang-orang yang tidak bisa
menempuh pendidikan formal di sekolah
(Gati, 2015). Namun tidak hanya itu saja
sekolah alternatif sebenarnya diperuntukkan bagi semua orang yang
membutuhkannya. Dalam sekolah alternatif kebanyakan yang diajarkan adalah skill, sedangkan pelajaran kurikuler
tidak diajarkan secara menyeluruh seperti di sekolah umum.
Sebenarnya sekolah alternatif memiliki banyak macam dan jenisnya, antara
lain: 1) lembaga pendidikan umum. Lembaga ini adalah sekolah yang diselenggarakan
oleh lembaga dengan dana dari negara namun program belajarnya berbeda dengan
program belajar sekolah formal pada umumnya. Sekolah jenis ini contohnya SMP
Terbuka, pendidikan kesetaraan seperti Kejar Paket A, B, dan C. Mengapa
kejar paket digolongkan sekolah alternatif? Hal ini karena standard kompetensi
lulusan yang sama dengan sekolah formal, tetapi konten, konteks, metodologi,
dan pendekatan untuk mencapai standar kompetensi lulusan tersebut lebih
aplikatif. 2) Lembaga/sekolah untuk siswa bermasalah. Peserta didik dalam
sekolah ini bisa jadi anak-anak yang memiliki masalah dalam kehidupannya,
misalnya anak-anak yang direhabilitasi karena kasus narkoba dan anak-anak
penyandang disabilitas secara mental maupun fisik. 3) Sekolah swasta. Sekolah
ini terlepas dari pembiayaan negara melainkan dilakukan oleh pihak swasta.
Sekolah ini memiliki jenis, bentuk, dan
program yang beragam. 4) Lembaga alternatif lainnya. Beberapa di antaranya
yaitu sekolah alam, sekolah anak jalanan, pesantren, sekolah untuk kaum yang
termarjinalkan, lembaga kursus, dan penitipan anak. 5) Pendidikan di rumah (home-based schooling). Home schooling sebagai suatu situasi
pembelajaran yang singkat atau lama, di mana siswa dididik dengan beragam
subjek pelajaran di dalam rumah oleh orang tuanya, orang lain, teman-teman,
atau orang yang ahli. Selain itu, home
schooling dalam praktik pembelajarannya menitikeratkan pada pemanfaatan
potensi anak didik dengan sedikit supervisi. Anak diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan bernalar secara komprehensif, optimal, dan
mengoptimalkan kreativitasnya.
Alasan yang
mendasar orangtua memilih home schooling
antara lain:
1) lebih fleksibel untuk pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia, dan pencapaian hasil
belajar; 2) ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih mudah dikendalikan; 3) lebih sesuai untuk anak usia di atas sepuluh
tahun; 4) menggabungkan keluarga yang tinggal berjauhan melalui internet dan alat
informasi-komunikasi lainnya untuk tolak banding (benchmarking) termasuk untuk standardisasi.
Lulusan
Sekolah Alternatif
Lulusan dari sekolah alternatif tentunya masih dapat melanjutkan ke
jenjang berikutnya. Jika peserta didik ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi maka ia harus
mengikuti ujian nasionaldengan
jalan bergabung dengan sekolah lain yang telah diakui (sekolah negeri).
Sehingga, peserta didik dapat memiliki ijazah seperti sekolah pada umumnya. Hal
ini berlaku bagi semua sekolah alternatif misalnya sekolah
terbuka, pendidikan kesetaraan, dan home
schooling. Tetapi hal ini tidak berlaku dalam kursus karena kursus ditujukan bagi
mereka yang membutuhkan skill
tambahan atau skill lebih sesuai
minat maupun bakat. Lembaga kursus akan memberikan setifikat atau bukti
kelulusan khusus bagi peserta didiknya melalui ujian yang diselenggarakan
sendiri oleh lembaga kursus tersebut.
Permasalahan
Sekolah Alternatif
Banyak orang yang
secara tidak sadar beranggapan bahwa sekolah yang mengedepankan nilai dan
rutinitas lebih penting ketimbang sekolah yang mengedepankan minat dan bakat
anak. Hal ini sangat berbeda jauh dengan
kenyataan bahwa sekolah alternatif tidak dilakukan setiap hari dan tidak
mengedepankan nilai namun skill.
Pertemuannya yang tidak setiap hari membuat sekolah alternatif kurang dipercaya
oleh orang tua.
Berikut adalah
beberapa masalah yang
sering muncul dalam sekolah alternatif:
Pertama, Sekolah bagi kaum termarginal. Sekolah jenis ini biasanya adalah
sekolah yang bebas dari biaya, sehingga pengajarnya adalah orang-orang yang
sukarela mengajar di sekolah tersebut (Syifa, 2008). Ada banyak masalah
yang dapat ditemukan
dalam sekolah alternatif ini antara lain: 1) Bagi sekolah yang
tidak memiliki donatur tetap pastilah kurang memiliki fasilitas yang memadai.
Para pengelola harus mencari
dana sendiri untuk melanjutkan keberadan sekolah tersebut. 2) Sekolah yang
bebas
dari biaya umumnya
peserta
didiknya hanya datang saat tidak malas atau sedang senggang. Hal ini terjadi
karena mereka juga perlu membagi waktu dengan bekerja, misalnya bagi para pengamen, mereka akan
lebih untung jika bekerja daripada sekolah,
sehingga sekolah hanya dijadikan kegiatan sampingan. Selain itu, karena mereka bebas dari biaya, maka ada kecenderungan untuk tidak ada wajib untuk datang dalam
kegiatan pembelajaran. 3) Pengajar seringkali datang dan pergi. Hal ini terjadi
karena pengajar di sekolah alternatif ini hanya mendapatkan gaji kecil atau bahkan
tidak sama sekali atau suka rela. 4) Pengakuan dari masyarakat dan
pemerintah yang masih sangat minim.
Kedua, masalah lain yang muncul pada home schooling yaitu dikhawatirkan
siswa yang mengikuti metode pendidikan ini akan terasing dari lingkungan sosialnya
sehingga potensi kecerdasan sosialnya tidak muncul, begitu juga dengan hubungan sosialnya akan berkurang, karena sistem pembelajarannya dilakukan secara
individu
(Syifa, 2008). Sehingga hubungan sosial dengan anak-anak lainnya tidak akan terbangun.
Sedangkan permasalahan yang muncul pada sekolah umum antara lain: fasilitas
sarana-prasarana yang kurang memadai, gaji pendidiknya yang masih jauh dari layak, partisipasi masyarakat yang
rendah.
DAFTAR
RUJUKAN
Astuti, R. 2015. Perbedaan Sikap Sosial dan
Hasil Belajar Menggunakan Model Student Team Achievement Division dipadu
Quiz-Quiz Trade dengan Pembelajaran Konvensional. Jurnal Ilmu Pendidikan, 42 (1): 48-56.
Dananjaya, U. 2005. Sekolah Gratis: Esai-Esai
Pendidikan yang Membebaskan. Jakarta: Paramadina.
Gati, R. 2013. Kami Pernah Berikhtiar Merintis Sekolah Alternatif, (Online), (http://www.kompasiana.com/awam/kami-pernah-berikhtiar-merintis-sekolah-alternatif_551fa2ce813311612c9df5ae),
diakses pada
14
September 2015.
Nugroho, R. 2016. Pemberdayaan Masyarakat pada Masyarakat Ekonomi ASEAN. Makalah
diseminarkan dalam Seminar Nasional Pendidikan Nonfromal dan Informal 19 April
2016 di Universitas Negeri Yogyakarta.
Suryono, Y. & Wesa, A. 2014. Kesejaahteraan
Masyarakat Peserta Pelatihan Kelompok Prakoperasi di Kecamatan Namlea Kabupaten
Buru. Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan
Mayarakat (JPPM), 1 (2): 149-159.
Syifa. 2008. Kelebihan
Kekurangan Homeschooling, (Online),
(https://abudira.wordpress.com/2008/07/23/kelebihan-kekurangan-homeschooling/),
diakses pada 14 September 2015
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bidang Dikbud KBRI Tokyo.
(Online), (http://www.kbri.go.id) , diakses 15 Januari 2011
BIODATA PENULIS
Edi
Widianto, S.Pd., M.Pd. Dilahirkan di Kediri, 15 November 1981. Sejak masa remaja aktif diberbagai macam kegiatan: sebagai peserta kegiatan Pertamina Youth
Program, trainer Latihan Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa (LKMM), peserta
Latihan Integrasi Taruna Dewasa (Latsitardanus) XXV, Komandan Satuan Tugas LDKS
“Samapta Wira Muda II”, peserta Pelayaran Kebangsaan IV, trainer
dalam Diklat Motivasi Berprestasi Kepala TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB
se-Propinsi Jawa Timur, tim penyeleksi kepala sekolah di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur. Aktivitas sehari-harinya saat ini adalah sebagai dosen tetap di Universitas
Negeri Malang. Aktivitas lain yang
dilakukan adalah
menjadi trainer motivasi di berbagai pelatihan, workshop, maupun lokakarya.
No comments:
Post a Comment