Pendidikan
dan Hak
Kompetisi dalam segala aspek kehidupan ekonomi dan perubahan kebutuhan
yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Maka dari itu, untuk
memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan
dalam hal pemerataan akses bagi semua kalangan. Pendidikan menjadi landasan
kuat untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan pendidikan merupakan
bekal dalam menghadapi era global yang sarat akan persaingan. Dengan demikian,
pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Karena, pendidikan telah
menjadi faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi
global.
Dengan melihat latar belakang tersebut, pembangunan pendidikan
seharusnya menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda pembangunan
nasional. Pembangunan pendidikan sangat
penting karena perannya yang signifikan dalam mencapai kemajuan di berbagai
bidang: ekonomi, politik, sosial dan budaya. Maka dari itu, pemerintah
berkewajiban untuk memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan
pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Semua warga
negara Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran tanpa terkecuali,
baik ’yang kaya’ maupun ’yang miskin’. Namun, ketidakmerataan akses terhadap
pendidikan di Indonesia masih menjadi suatu masalah klasik yang hingga kini
belum terselesaikan.
Ketidakmerataan Akses
Pendidikan
Krisis
global membuat kehidupan semakin sulit, bahkan telah menjadi suatu dilema yang
belum terselesaikan. Salah satu problematika yang nampak adalah semakin
meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal ini akan berdampak pada
rendahnya tingkat pendidikan yang dapat dirasakan oleh mereka. Kemiskinan itu
pula yang menyebabkan sebagian masyarakat di negara ini lebih mengedepankan
urusan perut untuk bertahan hidup daripada memikirkan bagaimana untuk membayar
sekolah. Sehingga masyarakat terus terpuruk dalam belenggu kemiskinan.
Kemiskinan
merupakan rintangan terbesar bagi seseorang untuk memperoleh hak-hak pendidikan
mereka. Padahal, pendidikan diyakini sebagai mekanisme untuk melakukan
mobilitas vertikal secara cepat. Keterkaitan pendidikan dengan kemiskinan ini
telah menjadi isu yang semakin meluas. Di Indonesia, permasalah pendidikan
terletak pada ketidakadilan dalam memperoleh akses pendidikan antara Si Kaya
dan Si Miskin.
Kesenjangan
partisipasi pendidikan yang terjadi berpengaruh terhadap upaya penuntasan
program wajib belajar yang diterapkan. Meskipun pemerintah telah menyediakan
bantuan operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, namun masih
ditemukan adanya beberapa sekolah yang menarik berbagai iuran, sehingga
memberatkan orang tua, terutama bagi keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi
pendidikan tersebut terlihat mencolok pada jenjang pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi. Faktor mahalnya biaya pendidikan menjadi pemicu
terpinggirkannya masyarakat miskin dari jangkauan pendidikan. Akses mereka
untuk bisa mendapatkan pendidikan yang murah dan bermutu semakin sulit
diwujudkan, karena kendala ekonomi. Ketiadaan biaya benar-benar membuat mereka
tidak bisa memperoleh salah satu hak dasarnya, yaitu pendidikan.
Sampai saat
ini pendidikan yang berkualitas untuk masyarakat bawah belum tersentuh dalam
program pendidikan nasional. Institusi pendidikan semakin tidak memberikan
tempat bagi masyarakat miskin. Prestasi yang bagus sama sekali bukan jaminan
untuk bisa mendapat tempat di sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri.
Bersembunyi di balik permasalahan kemiskinan, institusi pendidikan negeri mulai
menutup akses bagi orang miskin guna memperoleh pendidikan yang baik. Jangan ditanya lagi hak anak-anak dari golongan miskin yang tidak berprestasi.
Kenyataannya,
biaya menyekolahkan anak kaya maupun miskin dalam sistem pendidikan formal itu
sama, bahkan cenderung lebih mahal bagi kaum miskin. Hal tersebut disebabkan,
sekolah-sekolah negeri yang 90% pembiayaannya ditanggung oleh negara justru diduduki
oleh mayoritas anak-anak orang kaya (kelas menengah). Sebaliknya, anak-anak
nelayan, pemulung, buruh tani,buruh pabrik, buruh kasar, buruh bangunan, dan
sebaginya justru bersekolah di swasta-swasta kecil, yang 90% pembiayaannya
ditanggung sendiri. Dengan demikian, orang-orang kaya di Indonesia justru
membayar biaya pendidikan lebih kecil dibanding orang-orang miskin yang harus
membayar biaya pendidikan jauh lebih banyak. Munculnya ketidakadilan itu
bersumber pada sistem seleksi peserta didik yang didasarkan pada besaran nilai
hasil ujian yang memperlihatkan pencapaian nilai tertinggi. Sedangkan, untuk
memperoleh nilai yang tinggi harus memenuhi kelengkapan fasilitas belajar dan
asupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi sehari-hari agar seorang anak bisa
menjadi cerdas. Kadua hal itu hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang mampu
secara ekonomi.
Permasalahan
ini dapat dilihat dengan perspektif konflik. Perspektif ini menekankan pada
perbedaan diri individu dalam mendukung suatu sistem sosial. Menurut perspektif
konflik, masyarakat terdiri dari individu yang masing-masing memiliki berbagai
kebutuhan yang sifatnya langka. Keberhasilan individu mendapatkan kebutuhan
dasar tersebut berbeda-beda, hal ini dikarenakan kemampuan individu untuk
mendapatkannya pun berbeda-beda. Persaingan untuk mendapatkan kebutuhan itulah
yang akan memicu munculnya konflik dalam masyarakat.
Dalam
permasalah ketidakmerataan akses pendidikan, menurut perspektif ini disebabkan
karena adanya kemampuan individu yang berbeda sehingga memunculkan persaingan,
dalam hal ini terjadi persaingan anatara Si Kaya dan Si Miskin untuk memperoleh
pendidikan. Dengan kemampuan yang terbatas, Si Miskin tidak dapat menjangkau
pendidikan, sedangkan Si Kaya yang memiliki kemampuan lebih akan dengan mudah
memperoleh akses terhadap pendidikan.
Lingkaran Setan Kemiskinan dan
Pendidikan
Pendidikan
sebagai pemutus rantai kemiskinan ternyata hanya isapan jempol belaka. Yang
terjadi justru pendidikan dijadikan sebagai jembatan menuju kemiskinan. Lihat
saja yang terjadi, pendidikan hanya dapat dijamah oleh mereka yang memiliki
modal. Maka, bukan hal yang mustahil jika pendidikan hanya akan menjadi
khayalan bagi sebagian warga negara Indonesia, mengingat orang miskin tumbuh
subur di negeri ini. Akibatnya, persentasi rakyat yang bodoh dan miskin semakin
tinggi.
Padahal,
salah satu rencana pemerintah adalah ingin menekan angka kemiskinan. Namun,
strategi yang dilakukan pemerintah justru menambah angka kemiskinan. Pemerintah
menyadari, salah satu penyebab kemiskinan adalah kebodohan. Kebodohan
disebabkan oleh mutu pendidikan yang rendah. Pendidikan yang mutunya rendah dan
ditambah lagi dengan sulitnya akses untuk mengenyam pendidikan menjadikan
permasalahan kemiskinan semakin pelik dan sulit dipecahkan. Subsidi silang
berupa pemberian beasiswa bagi kalangan kelas menengah bawah yang di ambil dari
biaya pendidikan kalangan atas tampaknya tidak akan efektif, karena masyarakat
yang menengah atas jumlahnya tidak banyak.
Keterbatasan
memperoleh akses pendidikan akan semakin menjerumuskan Si Miskin ke dalam
jurang kebodohan. Perjuangan untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan hanya
menjadi sesuatu yang utopis. Akhrinya, Si Miskin akan selamanya menjadi bodoh
dan tidak mempunyai keterampilan. Karena tidak mempunyai keterampilan mereka
tidak mempunyai pekerjaan, apalagi menciptakan lapangan pekerjaan. Jika menjadi
pengangguran, mereka akan tetap menjadi miskin dan menjadi beban bagi keluarga,
masyarakat dan juga pemerintah.
Solusi Sebagai Upaya
Pemerataan
Upaya-upaya
peningkatan pemerataan pendidikan bagi masyarakat miskin dan masyarakat
terpencil yang disarankan oleh penulis adalah pendidikan tidak harus dibangun
dengan biaya yang mahal, tetapi sekolah bisa membuat badan amal usaha sehingga
siswa tidak dikenakan biaya. Kalaupun siswa dikenai biaya itu pun harus
disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua.
Kebijakan
BOS telah ditelurkan oleh pemerintah, namun pada kenyatannya di lapangan masih
banyak sekolah-sekolah yang mencari lahan untuk menarik pungutan kepada siswa
(orang tua) dengan embel-embel program tertentu. Dalam hal ini, pemerintah
perlu memperketat pengawasan di lapangan dan menerima serta menanggapi
pengaduan-pengaduan dari masyarakat.
Memprioritaskan
sekolah negeri untuk masyarakat kalangan bawah. Untuk itu, pemerintah harus
mengubah sistem penerimaan peserta didik yang selama ini membuat Si Miskin
tersingkirkan dari sekolah-sekolah negeri. Dalam penerimaan peserta didik pun
harus didasarkan pada kemampuan sosial dan ekonomi peserta didik, tidak semata mengutamakan
nilai. Namun, kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan pemerintah. Tampaknya,
masyarakat juga harus berpartisipasi dalam membangun pendidikan yang adil.
Untuk orang-orang yang berkecukupan seharusnya mau membiayai sekolah
orang-orang yang tidak mampu. Selain itu, mahasiswa yang disebut sebagai ‘agen
perubahan’ diharapakan bisa mengorganisir bantuan-bantuan pendidikan bagi kaum
miskin. Sehingga dapat terwujud pendidikan yang adil.
Daftar Pustaka
Buku:
Darmaningtyas, Pendidikan
Rusak-Rusakan, Yogyakarta: Lkis, 2005.
Pora, Yusran, Selamat
Tinggal Sekolah, Yogyakarta: MedPress, 2007.
Tilaar, HAR, Manifesto
Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2005.
No comments:
Post a Comment