Sahabat pena mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah

TERKIKISNYA KESADARAN KRITIS DALAM PERGURUAN TINGGI



Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh....
Salam sejahterah untuk kita semua.
Apa kabarnya teman-teman hari ini? Saya harap sehat selalu.
Sudah lama nih saya nggk buka blog dan memposting. Maklum, mahasiswa sok sibuk hhe..yang katanya banyak kerjaan sampai lupa ini itu. Kali ini saya akan memposting materi diskusi yang ada di adakan HMJ PLS. Semoga bahan ini bermanfaat untuk teman-teman semuanya.. yuk disimak. :)


Terkikisnya Kesadaran Kritis dalam Perguruan Tinggi
Oleh : Ardianyah Prainhantanto



“Suasana yang diam-diam membuat pengetahuan dikarantina dari pergulatan, konflik kelas dan misi pembebasan.” (Prasetyo, 2015: 132)

            Setiap manusia pastilah memerlukan pendidikan dalam hidupnya untuk mengembangkan potensi dirinya dan untuk mencapai tujuan tertentu dalam hidupnya, salah satunya untuk mobilisasi sosial. Seperti yang diungkapkan dalam Nuryanto (2011: 81), pendidikan adalah media untuk menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial. Dari pendapat tersebut dapat kita ketahui bahwa di dalam pendidikan ada pihak yang mempersiapkan pendidikan, salah satu yang kita kenal adalah lembaga pendidikan. Jika kita telah dipersiapkan oleh lembaga pendidikan yang dalam konteks ini adalah perguruan tinggi, sudahkah anda bertanya “Apa bentuk kehidupan sosial yang dipersiapkan untuk saya?”
            Dewasa ini kita hidup di dalam masyarakat termasuk di bidang pendidikan yang tidak lepas dari  pengaruh globalisasi dan neoliberalisme. Neoliberalisme adalah lanjutan dari liberalisme yang dicetuskan oleh Adam Smith. Paham ini menghendaki pertama, mekanisme pasar digunakan untuk mengatur ekonomi global. Kedua, lebih menekankan pada kesejahteraan dan kemakmuran individu. Ketiga, otoritas individu lebih ditekankan daripada otoritas pemerintah (negara). Semua konsep tentang neoliberalisme tadi akan berhasil jika globalisasi terjadi, terutama pada konsep pertama. Dampak nyata globalisasi dan neoliberalisme bagi Indonesia adalah MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yaitu liberalisasi pasar di kawasan Asia Tenggara. Jadi mau tidak mau, Indonesia harus menyiapkan sumber daya manusianya untuk bersaing dalam pasar bebas Asia Tenggara.
            Seperti definisi pendidikan di atas, bahwa pendidikan digunakan untuk membentuk dan melegitimasi bentuk tertentu kehidupan sosial, hal ini secara tidak langsung membuat sistem pendidikan di Indonesia juga akan mempersiapkan dirinya untuk bersaing di dalam MEA. Dari sini sudah dapat kita pahami sistem pendidikan kita mulai menghamba pada sistem pasar, bukan sebaliknya. Sistem permintaan dan penawaran mulai menjangkiti sistem pendidikan kita, lembaga-lembaga pendidikan mulai menjadi penyedia pekerja bagi pasar yang menawar. Dicetaklah orientasi mencari pekerjaan di dalam lembaga pendidikan, mahasiswa tidak lagi dicetak  untuk menciptakan lapangan kerja dan memahami dunia.
            Kesadaran kritis mulai dikikis oleh sistem di atas, mahasiswa dibentuk agar siap menjadi pekerja-pekerja yang sesuai dengan permintaan pasar. Akhirnya orientasi mahasiswa dalam menempuh pendidikannya bukan untuk memahami  realitas dan sebagai agen perubahan tetapi untuk memperoleh pekerjaan. Kondisi inilah yang akan menyebabkan terbentuknya rasional teknokratik (technocratic rationality) yang mengedepankan uniformitas (penyeragaraman) dan konformitas. Ini adalah akibat dari budaya positivisme,  yang berpengaruh pada penyampaian ilmu kepada mahasiswa yaitu dengan mengorientasikan mereka untuk beradaptasi dengan dunia maysarakat industri (Nuryanto, 2011: 5). Paham ini membuat mahasiswa berpikir dunia (terutama kampus) sedang baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak, kita telah berada dalam cengkraman neoliberalisme. Mahasiswa diibaratkan menjadi mesin yang siap untuk mengerjakan apa yang diperintahkan oleh dosennya. Mereka tidak diajak untuk melihat dan mempermasalahkan realitas. Kenyataan hidup juga sering tidak dihadirkan dalam ruang-ruang perkuliahan kita. Sehingga akan timbul pemahaman bahwa pengetahuan terpisah dari realitas hidup seseorang.

Kesadaran Kritis sebagai Jalan Keluar

            Kasus ini akan mengantarkan alienasi pada mahasiswa, maksudnya apa yang dipelajari mahasiswa tidak sesuai dengan kenyataan, mahasiswa akan terasingkan dari dunianya. Jika sistem pendidikan seperti ini terus menerus dijalankan, maka kita sebagai agent of change harus merubahnya menjadi pendidikan kritis yang bertujuan untuk mendobrak status quo sistem dan kekuasaan yang membelenggu. Untuk merubah kesadaran mahasiswa menjadi kritis, menurut Freire harus melewati tiga kesadaran, yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis (Fakih dkk, 1999: xvi-xvii).
            Pertama, kesadaran magis, yaitu kesadaran yang tidak mampu memberikan analisa terhadap kaitan antar faktor yang mewarnai hidup manusia. Kesadaran ini memahami bahwa setiap masalah yang ada di kehidupan ini adalah takdir yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Manusia dengan kesadaran seperti ini menjalani hidup dengan pasrah. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis kaitan antara sistem dan struktur terhadap satu permasalahn masyarakat (Fakih dkk, 199: xvi). Pengetahuan yang diperoleh oleh mahasiswa dari dosen, kebenarannya tidak dipertanyakan lagi dan tidak dikaji ulang soal hubungan ideologisnya dalam kehidupan sosial.
            Kedua, kesadaran naif, yaitu kesadaran yang menitik beratkan setiap permasalahan di masyarakat disebabkan oleh aspek manusianya sendiri. Misalkan ada permasalahan kemiskinan di suatu daerah maka permasalahan yang ada akan di privatisasi dalam dirinya sendiri. Kesadaran ini tidak mempertanyakan struktur dan sistem dalam memahami dunia. Tugas pendidikan dalam kesadaran naif adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar (Fakih dkk, 199: xvii).
            Ketiga, kesadaran kritis, yaitu kesadaran yang lebih melihat sistem dan struktur sosial sebagai sumber dari permasalahan (Fakih dkk, 199: xvii). Dalam memahami pengetahuan, pendidikan kritis tidak akan lepas dari analisa secara kritis tentang ekonomi, politik, budaya dan sistem politik. Tugas pendidikan kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar mahasiswa terlibat pada pembentukan struktur secara fundamental baru dari strutur sosial yang sudah ada.
            Digunakanannya kesadaran kritis dalam kehidupan perguruan tinggi kita akan membuat kita menjaga jarak pada sistem pendidikan yang akan men-dehumanisasi mahasiswa. Kita akan menjadi sadara bahwa pendidikan tidak melulu soal belajar keilmuan di kelas. Tetapi diharapkan juga memahami realitas sosial yang dihadapi masing-masing mahasiswa. Jangan sampai muncul pendapat seperti yang diungkapkan dalam Prasetyo (2015: 122), lagi-lagi kuliah bukan kegiatan yang dipenuhi perdebatan riuh tapi ceramah dogmatis yang hanya butuh kepatuhan dan persetujuan.

Kesadaran Kritis Sebagai Alat Transformasi Sosial dan Cara Untuk Mendobrak Status Quo di Perguruan Tinggi

“Mahasiswa terasing dengan dengan dunia sosialnya dan kampus telah jadi ladang pengail laba!” (Prasetyo, 2015: 121)
Kita sudah lihat permasalahan di awal tadi bahwa kampus-kampus hari ini tidak bisa lepas dari cengraman neoliberalisme. Sebuah paham yang membuat kampus lebih memilih mem-privatisasi dirinya dalam mengelola sistem pendidikan dan perekonomian di dalam kampus. Salah satu dampak nyatanya adalah setiap tahun uang kuliah tunggal (UKT) perlahan naik namun pasti.
Jika kita sebagai mahasiswa tidak mencoba memahami permasalahan ini, maka selama menempuh studi di kampus  kita akan merasa baik-baik saja, padahal keadaan kampus sedang tidak baik-baik saja dan tidak memihak kepada orang yang tidak berpunya. Kesadaran kritis sangat diperlukan untuk membedah permasalahan ini, dan setiap pendidikan yang kita peroleh jangan dianggap sebagai pendidikan yang netral. Selayaknya mahasiswa, pendidikan yang kita dapatkan harus memihak dan dimanfaatkan bagi saudara-saudara kita yang masih tertindas, masih mengalami dehumanisasi terbelenggu karena sistem, di sinilah roh pendidikan kritis berada yaitu keberpihakan.
Kesadaran kritis mahasiswa juga harus bisa mendobrak status quo para birokrat kampus yang membuat kebijakan semena-mena tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan bagi seorang mahasiswa. Kepentingan pasar di dalam kampus juga harus ditekan, agar mahasiswa dapat belajar dengan maksimal. Sehingga mahasiswa tidak lagi dipersiapkan untuk menghamba pada perusahaan tapi sebagai katalisator (pemercepat) perubahan sosial bagi Indonesia.

”Jangan tunduk pada kekuasaan yang mengekang.
Apapun caramu, lakukanlah Hai Kawanku!”

Daftar Rujukan
Azzet, Muhaimin Akhmad. 2011. Pendidikan yang Membebaskan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Nuryanto, M. Agus. 2011. Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekuasaan. Jogjakarta: Resist Book
Prasetyo, Eko. 2015. Bangkitlah Gerakan Mahasiswa. Malang: Instrans
           
           
Share:

2 comments:

Feel Free said...

Cuma bisa bilang masya allah

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Materi di salah satu MK pas daku maba nih.

Tapi sekarang banyak orang balik ke kesadaran magis loh malahan.

Postingan Populer

Labels

Halaman Diunggulkan

LULUSAN PLS PENGANGGURAN? MITOS ATAU FAKTA

LULUSAN PLS PENGANGGURAN? MITOS ATAU FAKTA Tingginya tingkat pengangguran yang dialami oleh para lulusan perguruan tinggi me...